23 August 2013

La Tahzan (2013) : Kami Terjebak Dan Bersedih


Produksi : Falcon Pictures
Produser : Frederica
Sutradara : Danial Rifki
Penulis : Jujur Prananto
Pemeran : Atiqah Hasiholan, Ario Bayu, Joe Taslim

      
       Indah : Mungkin judul film “La Tahzan” gak pas disematkan dalam film yang diadaptasi dari sebuah cerpen berjudul “Pelajar Setengah TKI” yang ditulis oleh Ellnovianty Nine dari buku La Tahzan For Students. Gimana enggak? Menonton trailer film “La Tahzan”, mungkin sebagian orang (Muslim) akan berkata “Subhanallah, begitu besar sekali cintanya”. Gue pun mungkin berkata demikian, gak tau deh ya kalo si Iskhandar. Begitu nonton trailer itu, gue langsung ngajak si abang buat nonton film yang tadinya berjudul Orenji ini.

       Iskhandar : Pertama kali melihat trailer La Tahzan beberapa bulan yang lalu, gue agak kurang tertarik untuk menonton dikarenakan I'm not a big fan of religious movies. Namun karena ajakan dari pacar dan hey, it's an Indonesian movie, so why not give it a try? Kebetulan gue cukup suka dengan posternya (mengingat gue penonton film yang sangat mengappreciate estetika sebuah poster film - in this case menurut gue poster La Tahzan cukup sweet dan rapih desainnya) yang sepertinya memuat unsur religius yang kuat sekali dan tayang sempena lebaran. Dan ekspektasi awal gue, ya ini film religi. Dan materi promotionalnya sukses menguatkan lagi impresi pertama gue tentang film ini lewat trailer dan posternya.


       Indah : Wah, kayaknya filmnya bagus ya. Yang main Atiqah Hasiholan sama Joe Taslim bo! (Gue gak gitu kenal sama Ario Bayu, yaiyalah gak pernah kenalan). Ceritanya juga kayaknya oke, berkisah tentang seorang cewek yang bernama Viona (Atiqah Hasiholan), yang belajar sambil bekerja di Jepang dan kayaknya dia ke Jepang itu karena ada alasan tertentu, yaitu mengejar kekasihnya yang bernama Hasan (Ario Bayu) - (tapi ternyata bukan pacar, cuma friendzone). 

       Kemudian dia bertemu dengan pria Jepang yang bernama Yamada (Joe Taslim) yang jatuh cinta dan akhirnya ingin menikah dengan Viona, sampe-sampe mau belajar tentang Islam. Kata-kata yang dilontarkan Yamada begitu kuat kalo menurut gue : “Kalo gitu, ajari saya Islam. Bimbing saya.” Duh…Subhanallah banget! Tapi kemudian saat Viona sudah mau move on dari Hasan, eh malah Hasan datang kembali dan Viona akhirnya dihadapi oleh dilema menikahi Yamada atau kembali ke Hasan.

       Iskhandar : Yep. Plot cinta segitiga yang begitu simple dan didukung oleh romantisnya taman-taman, pohon-pohon sakura dan citylights Jepang cukup bisa memaniskan lagi cerita cinta segitiga yang sebenarnya sudah biasa sekali. Ceritanya terkadang terlewat biasa dan di beberapa part terkesan agak memaksakan (seriously, Yamada is half Indonesian. That's too much of a coincidence for me) dan terkesan sangat terburu-buru menuju ke akhir cerita. Juga jomplangnya plot cerita dengan Hasan yang secara tidak jelas sebabnya menghindar dari Viona (kasihan banget Vionanya sumpah. Udah jauh-jauh ke Jepang malah dihindarin). Ario Bayu itu terlalu manly menurut gue untuk mendapat karakter yang tidak berani menghadapi perempuan! (FYI Ario Bayu itu salah satu aktor Indonesia favorit gue) Dan dialog di film ini kurang terdengar 'cerdas' untuk gue.

       Alih-alih kami menyangka ini sebuah film religi, ternyata La Tahzan hanyalah sebuah film percintaan segitiga yang seperti memanfaatkan 'topeng' religi supaya filmnya bisa sukses menjaring penonton sewaktu tayang di momen lebaran. Cukup membingungkan karena sejak awal film hingga pertengahan film tidak terlihat banyak unsur-unsur religi (melainkan nasehat sang ibu di dalam film yang diperankan oleh Dewi Irawan) namun setelah berjalan hingga ke tengah film, tiba-tiba semuanya mendadak religius, lengkap dengan soundtrack lagu religi dan nuansa sangat Islami, seperti adegan di masjid, lengkap dengan imam serta Viona yang mendadak berkerudung (oh dear). Dikarenakan inkonsistensi ini, adalah lebih baik judul film ini tetap Orenji ketimbang harus dikelabui lagi dengan unsur religi demi jualan semata, lewat judul La Tahzan.

       Gue juga menyayangkan satu hal - dengan lokasi-lokasi yang cukup bisa memanjakan mata, sinematografi dalam La Tahzan, menurut gue kelewat biasa dan terkadang terasa sekali camera shaking yang unneccesary dan terkesan amatiran. Mood lighting di beberapa adegan interior cukup pas, namun camera handling di beberapa shot terkesan sangat raw dan kasar - sehingga tidak mendukung mood yang ingin disampaikan di dalam shot-shot tertentu.


       Indah : Pas gue nonton filmnya di bioskop bersama si abang, yang terjadi adalah, gue boring, gak ngerti sama jalan ceritanya, dialognya gak kuat, karakter yang tidak natural serta riset yang kurang. Akting Atiqah di film ini gue harus katakan poor banget. Cara lari yang dibuat-dibuat, agak-agak kayak bocah gimana gitu,  terus cara ngomong yang dicadel-cadelin. Gue gak ngerti deh kenapa si sutradara ngasih peran ini ke Atiqah. Atiqah gak cocok banget meranin karakter cewek yang manja. Mungkin lebih cocok dikasih ke Olivia Jensen Lubis atau siapa kek lah, hahaha. Tapi aktingnya Joe Taslim bisa dibilang oke banget, dia total meranin karakter Yamada, jauh berbeda sama peran-peran dia sebelumnya di film The Raid dan Fast and Furious Six. Tapi tetep aja, percakapannya jadi aneh, dan gue malah ngebayangin film Habibie Ainun gara-gara cara ngomongnya Joe Taslim. Kalo actingnya Ario Bayu sih oke-oke aja.

       Iskhandar : Bisa dibilang Joe Taslim cukup menarik perhatian gue dengan aktingnya yang lumayan meyakinkan sebagai half-Japanese, half-Indonesian. Dia cukup baik berbicara bahasa Indonesia dengan aksen Jepang yang terdengar enak di kuping. Dan agak menarik melihat Joe Taslim memerankan tokoh pria Jepang yang sweet, lucu dan loveable, mengingat melejitnya nama Joe Taslim adalah lewat karakter-karakter badass dan keren. 



       Indah : Terus, menurut gue, ada terjadi keegoisan agama di La Tahzan. Viona berkata “Agama kamu apa? Saya orang Islam, saya gak bisa nikah sama kamu. Agama saya punya hukum yang jelas.” Wow! Gue terkjeut dengan statement itu. Gue orang Islam juga, tapi gak segitunya gue sama agama lain. Agak-agak offensive gak sih? Gue bertanya-tanya dengan filmmakernya : “Emangnya menurut lo agama lain gak punya hukum pernikahan yang jelas?”

  Selain menurut gue offensive terhadap agama, film ini juga terlihat sedikit memojokkan Indonesia. Viona sepertinya sebel banget sama Indonesia, bahkan mengatakan Jepang negara impian dia cuma karena dia lelah, ngeliat Indonesia cuma kemiskinan doang. Agak menyayangkan dialog itu sih. Gue bukannya mau sok nasionalisme ya, tapi kesannya Indonesia itu buruk banget ya?

       Next yang mau gue kritik adalah riset tentang Jepang. Setau gue, dari film Jepang-Korea berjudul “Virgin Snow” yang gue tonton, kertas berisi fortune teller yang isinya berupa keberuntungan atau hal-hal yang baik itu disimpan, kalau hal-hal yang bad luck baru di iket gitu. Tapi kenapa si Viona dapet kertas ramalan yang katanya jodoh si Viona udah deket malah diiket ya? Wah, mungkin jodoh deket itu berarti musibah kali ya? Hahahaha…

Nah, gitu kalo menurut gue…kalo menurut Abang Iskhandar?

       Iskhandar : Overall, menurut gue La Tahzan adalah sebuah film yang biasa. Terlalu biasa. Tidak, setting lokasi Jepang tidak membuat gue ingin memberi film ini sebuah nilai lebih. Plot lemah, karakter yang tidak kuat dan materi promosi yang sangat-sangat misleading sehingga kami merasa sangat tertipu dengan trailernya (apalagi pacar gue Indah yang dari awal tertarik menonton film ini karena unsur religius di trailernya). Judul filmnya meminta kami untuk tidak bersedih, namun nyatanya kami harus bersedih karena merasa dijebak dan dibohongi. 

Last Note : Too bad review pertama di blog kami berdua ini harus diawali dengan film Indonesia yang kami tidak enjoy menonton. 

No comments:

Post a Comment