04 September 2013

Tanah Surga… Katanya (2012) : Tiada Batas untuk Mencintai Indonesia


Produksi : Gisela Citra Sinema & Brajamusti Films
Produser : Bustal Nawawi
Sutradara : Herwin Novianto
Penulis : Danial Rifki
Pemeran : Osa Aji Santoso, Fuad Idris, Ence Bagus, Astri Nurdin, Tissa Biani Azzahra, Ringgo Agus Rahman, Andre Dimas Apri


       Indah : Tidak banyak film Indonesia yang mengangkat tema nasionalisme di perbatasan. Dengan segala keterbatasan yang ada, sikap nasionalisme mengalir tanpa batas. Miris melihat orang-orang Indonesia yang tinggal dengan segala fasilitas mewah yang ada di kota-kota besar, tapi malah mencemooh negara Indonesia tiada henti, berbanding terbalik dengan orang-orang yang hidup sangat terbatas di perbatasan.

       Iskhandar : Saya terus terang, saya bukan penganut paham nasionalisme. Jadi secara otomatis saya biasanya akan kurang merasa teridentifikasi atau bisa merelate dengan film-film bertema nasionalisme (sedangkan Indah merupakan penggemar film bertema nasionalisme). Tanah Surga... Katanya adalah sebuah film nasionalisme yang memenangkan best film di FFI tahun lalu. Terlepas dari kontroversi dimana ‘katanya’ ada penyelewengan penjurian di FFI 2012 sehingga film ini memboyong begitu banyak penghargaan, Tanah Surga... Katanya bukanlah sebuah film yang bisa dipandang sebelah mata. Film ini sangat lantang berbicara, dengan gaya khas ala film-film Deddy Mizwar, Herwin Novianto membawa kita menelusuri realita perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan.


       Indah : Dikisahkan ada sebuah dusun yang terletak diperbatasan Indonesia – Malaysia. Di dusun tersebut tinggal seorang kakek bernama Hasyim, seorang mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965 yang begitu mencintai Indonesia. Ia tinggal bersama cucunya, Salman dan Salina. Anak semata wayangnya, Haris pergi merantau ke Malaysia yang jaraknya memang tidak jauh dari dusunnya. Haris menganggap, Malaysia lebih baik dari pada Indonesia. Ia merasa mendapat hidup yang lebih layak di Malaysia, ia pun hendak mengajak Hasyim, Salman dan Salina pindah ke Malaysia. Namun Hasyim menolak dengan sangat keras, ia begitu benci dengan Malaysia, apalagi mengingat dia adalah mantan pejuang tahun 65.
      
       Di dusun yang sama, Astuti seorang guru yang ditugaskan mengajar di dusun itu. Astuti secara insidental terpaksa bertugas di dusun itu hanya karena sebuah kejadian lucu. Tapi, Astuti mengajar dengan sepenuh hati. Tidak lama berselang, datang dokter Anwar dari kota. Ia seorang dokter muda yang memutuskan untuk menjadi dokter di dusun itu karena tidak mampu bersaing sebagai dokter professional di kota. Di dusun itu dokter Anwar dikenal sebagai dokter Intel.
                
       Iskhandar : Tanah Surga... Katanya adalah sebuah satir yang mengkritisi para pejabat yang duduk bermewah-mewahan di kota dan mengabaikan mereka yang di perbatasan. Cukup menarik apabila kita melihat ada dua karakter dari kota besar, Astuti dan Anwar yang secara kebetulan dan terpaksa harus mengabdi kepada masyarakat di perbatasan. Saya ingin mengacungi jempol untuk casting film ini. Hampir aktor dan aktris bermain dengan sangat bagus, apalagi Osa Aji Santoso sebagai Salman dan Fuad Idris sebagai Hasyim.

       Indah : Di film ini di gambarkan kehidupan yang sederhana, jauh dari hiruk pikuk kota dan kemajuan teknologi. Yang lebih menarik lagi, orang-orang di dusun itu tidak mengenal rupiah, mata uang Indonesia. Tapi yang mereka kenal adalah uang ringgit, karena mereka lebih sering berbelanja membeli kebutuhan sehari-hari di Malaysia.

       Film ini lebih banyak fokus pada kehidupan keluarga Hasyim. Hasyim menderita sakit keras dan dokter Anwar menyuruhnya untuk periksa ke rumah sakit di kota, tapi jarak menuju kota sangat jauh dan biayanya mahal. Salman dan Salina, dua kaka beradik terpaksa harus terpisah, karena Salina diajak ayahnya pindah ke Malaysia, sedangkan Salman memutuskan untuk tetap tinggal merawat kakeknya yang sakit.

        Mengharukan melihat perjuangan Salman merawat kakeknya yang sakit. Ia begitu terpengaruh dengan kata-kata kakeknya untuk tetap mencintai negara Indonesia. Demi membawa kakeknya ke rumah sakit di kota, Salman bekerja disebuah rumah produksi kerajinan dan hasil kerajinan itu dijual di pasar di Malaysia. Saat ia berjalan-jalan di pasar itu, ia marah dan sedih melihat bendera Indonesia, malah menjadi alas seorang pedagang berjualan. Salman pun akhirnya menukar bendera Indonesia itu dengan sarung baru yang ia beli. Ia begitu bangga membawa bendera Indonesia itu.


       Iskhandar : Saya sedikit menyayangkan betapa film ini terlalu lantang sehingga akhirnya jatuhnya terlalu mensterotip-kan orang Malaysia di perbatasan Kalimantan. Walau secara keseluruhan ide dan tema filmnya adalah bukan untuk menjudge dan memojokkan orang Malaysia secara keseluruhan namun adalah untuk mengkritisi para pemerintah, tapi absennya setidaknya satu tokoh penyeimbang/baik dari pihak Malaysia cukup berpotensi untuk meninggalkan kesan tertentu untuk beberapa penonton.
                
       Indah : Keadaan di sekolah juga memprihatinkan. Hanya ada 1 kelas yang dihuni oleh kelas 3 dan kelas 4. Di sekolah itu bahkan tidak punya bendera merah putih. Yang lebih miris lagi, mereka tidak tahu lagu kebangsaan Indonesia, yang mereka tahu adalah lagu Kolam Susu.
                
       Adegan paling menggelitik adalah saat Salman membacakan sebuah puisi di hadapan pejabat yang datang ke dusun itu untuk membantu membangun sekolah yang lebih baik. Tapi mendengar puisi dari Salman, pejabat itu merasa tersinggung dan tidak jadi memberikan bantuan untuk dusun itu. Begini puisi yang dibacakan Salman, baca baik-baik dan renungkan…



Bukan lautan hanya kolam susu … katanya.
Tapi kata kakekku, hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu.

Kail dan jala cukup menghidupimu… katanya
Tapi kata kakekku, ikan ikan kita dicuri oleh banyak negara.

Tiada badai tiada topan kau temui .,.. katanya.
Tapi kenapa ayahku tertiup angin ke Malaysia

Ikan dan udang menghampiri dirimu. .. katanya.
Tapi kata kakekku, awas ada udang di balik batu.

Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman … katanya.
Tapi kata dokter intel, belum semua rakyatnya sejahtera, banyak pejabat yg menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri.

       Iskhandar : Sinematografi di Tanah Surga...Katanya. Satu lagi aspek yang ingin saya acungi jempol. Lewat lensa sinematografer Anggi Frisca, gambar, tone dan imagi yang dihasilkan cukup bisa menyampaikan visi sutradara tentang kemiskinan, kegersangan kan keprihatinan hidup rakyat di perbatasan. Terlebih lagi gambar cantik saat kematian Hasyim di tengah-tengah danau yang cukup bisa mengangkat lagi klimaks film.

Indah : Film ini bisa dikatakan sangat singkat, dengan permasalahan yang kompleks di daerah perbatasan. Tapi film ini cukup mengharukan dan bisa membuat penonton berpikir “kenapa dengan keterbatasan yang ada di daerah perbatasan, mereka tetap bisa mencintai Indonesia dengan sepenuh hati, sedangkan kami yang hidup di kota dengan segala fasilitas yang ada, justru terus mengeluh dan terus menghina pemerintah dan bahkan negara sendiri…”

Last Note : Indah adalah penggemar film bertema nasionalisme sementara Iskhandar tidak.

No comments:

Post a Comment