Produksi : Gisela Citra Sinema & Brajamusti Films
Produser : Bustal Nawawi
Produser : Bustal Nawawi
Sutradara : Herwin Novianto
Penulis : Danial Rifki
Pemeran : Osa Aji Santoso, Fuad Idris, Ence Bagus, Astri Nurdin, Tissa Biani Azzahra, Ringgo Agus Rahman, Andre Dimas Apri
Indah : Tidak
banyak film Indonesia yang mengangkat tema nasionalisme di perbatasan. Dengan
segala keterbatasan yang ada, sikap nasionalisme mengalir tanpa batas. Miris
melihat orang-orang Indonesia yang tinggal dengan segala fasilitas mewah yang
ada di kota-kota besar, tapi malah mencemooh negara Indonesia tiada henti,
berbanding terbalik dengan orang-orang yang hidup sangat terbatas di
perbatasan.
Iskhandar : Saya terus terang, saya bukan penganut paham nasionalisme. Jadi
secara otomatis saya biasanya akan kurang merasa teridentifikasi atau bisa
merelate dengan film-film bertema nasionalisme (sedangkan Indah merupakan
penggemar film bertema nasionalisme). Tanah Surga... Katanya adalah sebuah film
nasionalisme yang memenangkan best film di FFI tahun lalu. Terlepas dari
kontroversi dimana ‘katanya’ ada penyelewengan penjurian di FFI 2012 sehingga
film ini memboyong begitu banyak penghargaan, Tanah Surga... Katanya bukanlah
sebuah film yang bisa dipandang sebelah mata. Film ini sangat lantang
berbicara, dengan gaya khas ala film-film Deddy Mizwar, Herwin Novianto membawa
kita menelusuri realita perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan.
Indah : Dikisahkan
ada sebuah dusun yang terletak diperbatasan Indonesia – Malaysia. Di dusun
tersebut tinggal seorang kakek bernama Hasyim, seorang mantan sukarelawan
Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965 yang begitu mencintai Indonesia. Ia
tinggal bersama cucunya, Salman dan Salina. Anak semata wayangnya, Haris pergi
merantau ke Malaysia yang jaraknya memang tidak jauh dari dusunnya. Haris
menganggap, Malaysia lebih baik dari pada Indonesia. Ia merasa mendapat hidup
yang lebih layak di Malaysia, ia pun hendak mengajak Hasyim, Salman dan Salina
pindah ke Malaysia. Namun Hasyim menolak dengan sangat keras, ia begitu benci
dengan Malaysia, apalagi mengingat dia adalah mantan pejuang tahun 65.
Di dusun yang sama, Astuti
seorang guru yang ditugaskan mengajar di dusun itu. Astuti secara insidental terpaksa
bertugas di dusun itu hanya karena sebuah kejadian lucu. Tapi, Astuti mengajar
dengan sepenuh hati. Tidak lama berselang, datang dokter Anwar dari kota. Ia
seorang dokter muda yang memutuskan untuk menjadi dokter di dusun itu karena
tidak mampu bersaing sebagai dokter professional di kota. Di dusun itu dokter
Anwar dikenal sebagai dokter Intel.
Iskhandar : Tanah Surga...
Katanya adalah sebuah satir yang mengkritisi para pejabat yang duduk
bermewah-mewahan di kota dan mengabaikan mereka yang di perbatasan. Cukup
menarik apabila kita melihat ada dua karakter dari kota besar, Astuti dan Anwar
yang secara kebetulan dan terpaksa harus
mengabdi kepada masyarakat di perbatasan. Saya ingin mengacungi jempol untuk
casting film ini. Hampir aktor dan aktris bermain dengan sangat bagus, apalagi
Osa Aji Santoso sebagai Salman dan Fuad Idris sebagai Hasyim.
Indah : Di film ini di gambarkan
kehidupan yang sederhana, jauh dari hiruk pikuk kota dan kemajuan teknologi.
Yang lebih menarik lagi, orang-orang di dusun itu tidak mengenal rupiah, mata
uang Indonesia. Tapi yang mereka kenal adalah uang ringgit, karena mereka lebih
sering berbelanja membeli kebutuhan sehari-hari di Malaysia.
Film ini lebih banyak fokus pada
kehidupan keluarga Hasyim. Hasyim menderita sakit keras dan dokter Anwar
menyuruhnya untuk periksa ke rumah sakit di kota, tapi jarak menuju kota sangat
jauh dan biayanya mahal. Salman dan Salina, dua kaka beradik terpaksa harus
terpisah, karena Salina diajak ayahnya pindah ke Malaysia, sedangkan Salman memutuskan
untuk tetap tinggal merawat kakeknya yang sakit.
Mengharukan melihat perjuangan
Salman merawat kakeknya yang sakit. Ia begitu terpengaruh dengan kata-kata
kakeknya untuk tetap mencintai negara Indonesia. Demi membawa kakeknya ke rumah
sakit di kota, Salman bekerja disebuah rumah produksi kerajinan dan hasil
kerajinan itu dijual di pasar di Malaysia. Saat ia berjalan-jalan di pasar itu,
ia marah dan sedih melihat bendera Indonesia, malah menjadi alas seorang
pedagang berjualan. Salman pun akhirnya menukar bendera Indonesia itu dengan
sarung baru yang ia beli. Ia begitu bangga membawa bendera Indonesia itu.
Iskhandar : Saya
sedikit menyayangkan betapa film ini terlalu lantang sehingga akhirnya jatuhnya
terlalu mensterotip-kan orang Malaysia di perbatasan Kalimantan. Walau secara
keseluruhan ide dan tema filmnya adalah bukan untuk menjudge dan memojokkan
orang Malaysia secara keseluruhan namun adalah untuk mengkritisi para
pemerintah, tapi absennya setidaknya satu
tokoh penyeimbang/baik dari pihak Malaysia cukup berpotensi untuk
meninggalkan kesan tertentu untuk beberapa penonton.
Indah : Keadaan di sekolah juga
memprihatinkan. Hanya ada 1 kelas yang dihuni oleh kelas 3 dan kelas 4. Di
sekolah itu bahkan tidak punya bendera merah putih. Yang lebih miris lagi,
mereka tidak tahu lagu kebangsaan Indonesia, yang mereka tahu adalah lagu Kolam
Susu.
Adegan paling menggelitik adalah
saat Salman membacakan sebuah puisi di hadapan pejabat yang datang ke dusun itu
untuk membantu membangun sekolah yang lebih baik. Tapi mendengar puisi dari
Salman, pejabat itu merasa tersinggung dan tidak jadi memberikan bantuan untuk
dusun itu. Begini puisi yang dibacakan Salman, baca baik-baik dan renungkan…
Bukan lautan hanya kolam susu …
katanya.
Tapi kata kakekku, hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu.
Kail dan jala cukup menghidupimu…
katanya
Tapi kata kakekku, ikan ikan kita dicuri oleh banyak negara.
Tapi kata kakekku, ikan ikan kita dicuri oleh banyak negara.
Tiada badai tiada topan kau temui .,..
katanya.
Tapi kenapa ayahku tertiup angin ke Malaysia
Tapi kenapa ayahku tertiup angin ke Malaysia
Ikan dan udang menghampiri dirimu. ..
katanya.
Tapi kata kakekku, awas ada udang di balik batu.
Tapi kata kakekku, awas ada udang di balik batu.
Orang bilang tanah kita tanah surga,
tongkat kayu dan batu jadi tanaman … katanya.
Tapi kata dokter intel, belum semua rakyatnya sejahtera, banyak pejabat yg menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri.
Tapi kata dokter intel, belum semua rakyatnya sejahtera, banyak pejabat yg menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri.
Iskhandar : Sinematografi di
Tanah Surga...Katanya. Satu lagi aspek yang ingin saya acungi jempol. Lewat
lensa sinematografer Anggi Frisca,
gambar, tone dan imagi yang dihasilkan cukup bisa menyampaikan visi sutradara
tentang kemiskinan, kegersangan kan keprihatinan hidup rakyat di perbatasan.
Terlebih lagi gambar cantik saat kematian Hasyim di tengah-tengah danau yang
cukup bisa mengangkat lagi klimaks film.
Indah : Film ini bisa dikatakan sangat singkat, dengan permasalahan
yang kompleks di daerah perbatasan. Tapi film ini cukup mengharukan dan bisa
membuat penonton berpikir “kenapa dengan keterbatasan yang ada di daerah
perbatasan, mereka tetap bisa mencintai Indonesia dengan sepenuh hati,
sedangkan kami yang hidup di kota dengan segala fasilitas yang ada, justru
terus mengeluh dan terus menghina pemerintah dan bahkan negara sendiri…”
Last Note : Indah adalah penggemar film bertema nasionalisme sementara Iskhandar tidak.
No comments:
Post a Comment