23 December 2013

[Review Film] Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2013) : Kritik Buya Hamka Terhadap Adat Istiadat Minang


Produser : Sunil Soraya & Ram Soraya
Sutradara : Sunil Soraya
Penulis : Donny Dhirgantoro, Imam Tantowi, Riheam Junianti, Sunil Soraya, Hamka
Pemain : Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian


       Iskhandar : Soraya Intercine kembali lagi dengan film akhir tahunnya, setelah 5cm pada tahun kemaren. Kali ini PH ini mengusung cerita dari novel karya Buya Hamka, yang merupakan karya sastra besar. Sejak pertama kali teaser/trailer film ini keluar, sudah bisa dilihat betapa megah dan mewahnya visual-visual pertama yang disuguhkan ke penonton, ditambah dengan soundtrack dari band Nidji yang mendukung nuansa tersebut.

       Indah : Film ini begitu ditunggu-tunggu oleh mayoritas masyarakat Indonesia (dan Malaysia), selain film biopik Soekarno yang rilis akhir tahun ini juga. Film adaptasi dari novel sastra lama Indonesia karya Buya Hamka, novel yang begitu laris manis di zamannya. Dan kalau anda ingat, mengenai novel ini sering muncul dalam soal ujian Bahasa Indonesia. Tapi di sini, saya tidak membahas mengenai novelnya atau isi novelnya, melainkan filmnya. Film bersetting zaman dahulu, apalagi zaman sebelum kemerdekaan tepatnya tahun 1930-an, pastinya memiliki budget yang tidak sedikit, dan karena ini film mahal, ekspektasi penonton pun ikut meningkat.

 

       Indah : Cerita film ini memang sangat cocok pada zamannya, kisah yang mengharukan tentang sepasang manusia yang saling jatuh cinta namun tidak bisa bersama karena terhalang adat istiadat. Banyak masalah yang memisahkan mereka, tapi pada akhirnya mereka selalu bertemu, hingga takdir lah yang benar-benar memisahkan mereka. Kisah cinta klasik seperti kebanyakan film cinta. Tapi di sini, Buya Hamka sang pengarang novel agaknya ingin mengkritik adat istiadat Minang yang mengaku sangat islami tapi justru adatnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Adat yang berlaku seperti kawin harus dengan bibit bobot bebet yang derajatnya tinggi, serta garis keturunan di lihat dari ibu, itulah yang di kritik oleh Hamka. Padahal harusnya, jikalau dua insan saling mencintai kenapa harus melihat status sosial dan harta kekayaan. Apakah pernikahan itu sebuah proses jual beli?

       Iskhandar : Sepertinya ingin mengulangi kesuksesan 5cm pada tahun yang lalu, maka dengan PH dan tim yang sama di balik layarnya, Herjunot Ali dan Pevita Pearce yang juga bermain di 5cm, juga dihadirkan lagi di Tenggelamnya Kapal Van Der Vijck. Tidak salah rasanya jikalau memang benar mereka menganut 'star system' sebagai pertimbangan dalam memilih jajaran cast untuk film ini, mengingat hasil akhirnya menurut saya, cukup bagus dan memuaskan.


       Indah : Saya tidak pernah membaca novel karya Buya Hamka, saya kurang tertarik membaca novel klasik Indonesia karena bahasanya yang sulit dipahami. Tapi nampaknya, film hikayat cinta ini kurang lebih sama saja dengan film-film cinta modern yang sudah banyak beredar di masa kini. Cinta yang terhalang karena status sosial lalu patah hati, kemudian bangkit dan sukses, kemudian keadaan berbalik, penyesalan dan berujung pada kematian. Siklus biasa dalam sebuah cerita cinta. Hanya yang membedakan kisah ini adalah salah satu karya sastra terbaik yang lahir di zamannya.

        Iskhandar : Ibarat sebuah fairytale, tidak usahlah kita pertanyakan keberuntungan Zainuddin yang menjadi salah satu tokoh utama di dalam film ini, yang tiba-tiba menjadi kaya-raya dengan segala kebetulannya mulai pertengahan film. Dan terkadang, apa perlu kita terus-menerus menjadi bangsa yang 'segalanya harus original' dan mempermasalahkan kemiripan plot cerita dengan film Titanic. Believe me it's not that simple. Film ini mempunyai jalan cerita yang berbeda total dengan Titanic.

       Jadi menariknya, hampir segalanya sepertinya sudah satu paket - Tokoh Zainuddin dan Hayati yang diperankan oleh Herjunot Ali & Pevita Pearce yang juga bermain di 5cm, serta soundtrack dari Nidji, yang juga merupakan band yang menyumbang lagu di soundtrack film 5cm. Mengingat template yang telah digunakan di 5cm cukup banyak mengundang anak muda untuk menjejakkan kaki di bioskop, tentunya filmmaker ingin kesuksesan itu terulang di film yang jauh lebih ambisius dari sekedar 'cerita sekelompok anak muda yang ingin mendaki gunung Semeru sambil berteriak kata-kata inspiratif secara random'.


        Indah : Hikayat cinta ini mungkin harusnya menjadi hikayat yang mengharukan, namun agaknya sulit bagi saya untuk meresapi tiap adegan dalam film ini. Dialog dengan bahasa minang yang kurang saya pahami, serta cara pemeran utama, Junot sebagai Zainuddin, berbicara nyaris membuat saya selalu ingin tertawa. Nampaknya dia belum bisa lepas dari karakter Bang Zafran di film 5cm. Entahlah, sepertinya saya tidak cocok menonton film dengan gaya bahasa bak penyair pada zaman dahulu.

        Film dengan bahasa minang yang kental dibalut dengan soundtrack yang full dinyanyikan oleh Nidji yang modern. Lagi-lagi saya merasa film ini seperti film 5 cm. Meskipun sutradaranya berbeda namun secara garis besar orang-orang dibalik layarnya sama dan karakter film 5 cm belum hilang di film ini.

       Akting Pevita sebagai Hayati biasa saja, Junot sebagai Zainuddin agak lebay, tapi akting Reza Rahadian sebagai Aziz patut mendapat acungan jempol. Nampaknya tak perlulah ditanya bagaimana Reza begitu total dalam setiap peran yang dijalaninya. Ia sukses memerankan tokoh antagonis, seorang bangsawan yang hanya tertarik pada kecantikan dan harta kekayaan, serta berperangai buruk.

       Iskhandar : Melihat Zainuddin di TKVDW, seperti melihat Zafran di 5cm. Herjunot Ali sepertinya terjebak dengan karakternya yang sebelumnya di 5cm. Gaya bicaranya dan ekspresinya tidak jauh berbeda. Namun energi yang dilepaskannya serta emosi yang dicurahkan dalam salah satu adegan yang mengharukan di dalam film ini, cukup bisa menghanyutkan emosi dan patut diapresiasi. Pevita Pearce berakting pas. Namun seperti biasanya, Reza Rahadian selalu saja menjadi scene stealer. Tidak perlu rasanya membahas akting Reza lebih jauh.

        Jadi, TKVDW merupakan sebuah film yang sangat ambisius. Saya sangat terkagum-kagum dengan kualitas dan detil di bidang penyutradaraan dan artistik. Jumlah extras yang diboyong sangat banyak sekali, dan setiap dari extras-extras itu didandani dengan bagus sesuai kebutuhan, baik dari make-up dan kostumnya. Belum lagi membahas departemen Artistik yang sepertinya sukses membangun ruang yang relevan dengan zaman yang menjadi background untuk film ini. Props, sets, costumes, semuanya sangat mendukung. Two thumbs up.


       Indah : Film ini sempat mendapat kritik pedas hanya karena trailer dan poster film. Katanya film ini sangat bertentangan dengan adat istiadat Minang. Hayati tidak mengenakan baju kurung, katanya ini pembodohan publik, dan katanya film ini nampaknya akan menjadi kisah cinta seperti Rose dan Jack di film Titanic. Tapi pada faktanya jelas sangat berbeda. Film Titanic hampir seluruh adegan di kapal, kisah percintaan yang bertemu di sebuah kapal pesiar besar, tapi film ini adalah kisah cinta yang terhalang karena adat istiadat. Ini film adaptasi, tidak seluruh kisah di film ini sama dengan aslinya. Endingnya pun berbeda dengan novel aslinya. Bagi yang sudah membaca novelnya, mungkin akan mengecewakan, namun bagi yang belum membaca filmnya, ending film ini cukup memuaskan.

         Iskhandar : Ada satu hal yang amat disayangkan, dimana setelah adegan klimaks selesai, filmmaker masih ingin terus berlama-lama menceritakan detail aftermath setelah klimaks terjadi. Hal yang sama, surprisingly, terjadi juga di 5cm. Tidak betah rasanya harus menikmati antiklimaks dalam film 5cm dan TKVDW, dimana terlalu banyak informasi yang ditampilkan pasca klimaks, namun hati sudah berteriak untuk keluar dari bioskop dikarenakan tinggal adegan ending yang belum kunjung tiba. 

        Dan tidak perlu berharap bahwa setiap film apapun yang diadaptasi dari novel apapun, akan sama bayangannya seperti ketika membaca novel. Apabila seorang sutradara mengangkat cerita dari sebuah novel (yang tadinya merupakan cerita milik orang lain), cerita itu akan menjadi milik sang sutradara ketika dia mengangkatnya menjadi sebuah film. Jadi akan selalu ada perbedaan tafsir disana-sini. Jadi rasanya pembaca novel asli dari Buya Hamka rasanya tidak perlu kecewa ketika ada hal yang tidak sesuai ekspekstasi dalam film ini. Akhir kata, Tenggelamnya Kapal Van Der Vijck adalah sebuah hikayat visual yang indah. A good watch. Tonton sekarang di bioskop!

No comments:

Post a Comment