28 November 2013

[Review Film] Sagarmatha (2013) : Dokumentasi Dan Fiksi Perjalanan Ke Puncak Tertinggi


Produksi : Sinema Kelana, Cangkir Kopi, Add Word Productions
Produser : Abdul Manaf
Sutradara : Emil Heradi
Penulis : Damas Cendekia
Pemain : Nadine Chandrawinata, Ranggani Puspandya



       Indah : Cerita tentang perjalanan selalu memiliki arti tersendiri. Banyak kisah yang bisa diambil dalam setiap perjalanan. Perjalanan pun belum tentu selalu menyenangkan, terkadang perjalanan bisa menjadi hal yang menyedihkan. Bulan November dan Desember ini nampaknya menjadi bulan menggairahkan bagi para pecinta film Indonesia. Pasalnya, hampir setiap minggunya muncul film-film baru yang cukup menarik untuk ditonton. Minggu lalu film Sokola Rimba baru saja rilis dan masih tayang dibioskop, di minggu ini ada lagi film Indonesia yang lumayan untuk menambah referensi film anda, yaitu “Sagarmatha”.

       Iskhandar : Pertama kali gue tau Sagarmatha adalah dari posternya yang menarik perhatian gue di Twitter. Dengan typography yang menarik, dua tokoh utama lengkap dengan kostum pendakian, dan pegunungan Himalaya sebagai background. Like always, gue selalu tertarik dengan poster film yang menarik.


       Indah : Film ini merupakan film yang menceritakan tentang sebuah perjalanan. Perjalanan yang panjang menuju mimpi, yaitu puncak gunung Himalaya. Dua orang sahabat yang dulunya pernah tergabung di kegiatan Mapala, melakukan perjalanan ke India. Mereka berdua melakukan perjalanan karena mereka punya tujuan masing-masing. Hingga akhirnya mereka berdua menemukan satu kejenuhan, lalu salah satu dari mereka teringat akan janji mereka untuk menuju ke puncak gunung Himalaya. Dalam perjalanan itu, mereka pun perlahan mengungkapkan permasalahan yang ada di antara mereka berdua.

       Iskhandar : Sagarmatha menggunakan pendekatan yang cukup unik dalam treatment shot-shot di dalam sequence-sequencenya. Beberapa shot terlihat sangat amatiran, out of focus, dan terkesan seperti hanya sebuah video dokumentasi perjalanan yang direkam menggunakan DSLR dengan ala kadarnya, namun ianya cukup mendukung konsep keseluruhan cerita yang menurut gue treatmentnya agak keluar dari treatment film-film Indonesia bioskop pada umumnya. Shot yang dicut-cut, backwards slow motion, out of focus shots, semuanya cukup menunjang treatment sutradara.


       Indah : So far, film ini cukup menghibur buat gue. Awalnya gue memiliki ekspektasi yang sangat rendah terhadap film ini, karena ya gue pikir ini film perjalanan yang gak akan jauh-jauh dari film “Laura and Marsha”, dan memang sih, gue sudah bisa menebak pasti ada masalah di antara mereka berdua, dan bingo! Tapi, film ini jelas sangat berbeda dengan film “Laura and Marsha”. Menurut gue, film ini bisa dibilang semi dokumenter.

        Iskhandar : Gue dan Indah sepakat bahwa ada banyak unsur 'dokumenter' ataupun sekedar dokumentasi perjalanan saja yang diselipkan atau bahkan dijadikan sebagai konsep didalam Sagarmatha. Shot-shot warga India-Nepal yang melihat kearah kamera, shot kedua tokoh utama yang berjalan sambil melafalkan dialog yang menjadi bagian dari cerita, namun warga lokal di sekitar mereka tampak tertarik untuk melihat ke arah lensa, membuat gue berasa menonton sebuah film fiksi dan dokumenter sekaligus. Juga shot-shot establish dan wide alam Nepal, terkadang di beberapa shot seperti mengingatkan kepada film dokumenter 'Baraka'. Salah satu adegan favorit gue adalah 'wawancara' oleh filmmaker kepada foreigners yang sedang ada di Nepal tentang kondisi Nepal. Sebuah pendekatan yang unik, dimana fiksi dan realitas digabungkan dan dibentur, menghasilkan sebuah perasaan campuraduk ketika menontonnya, seakan ikut bersama berpetualang di bumi Nepal.


        Indah : Dari segi cerita, awalnya sih agak membosankan, gue kayak gak tau film ini sebenernya tentang apa. Kita hanya seperti disuguhkan mengenai apa yang mereka temukan di perjalanan mereka. Seperti tempat yang kumuh, lebih kumuh bahkan dari Indonesia, juga tempat-tempat wisata yang cukup menarik. Namun sedikit demi sedikit, penonton disuguhi makna dibalik cerita film Sagarmatha ini, seiring cerita berjalan. Dua pemeran dalam film ini pun menurut gue sangat natural dan apa adanya. Terutama Nadine Chandrawinata sebagai “La”. Yang kita tahu, Nadine itu Putri Indonesia, tapi di film ini Nadine menunjukkan sisi lainnya sebagai traveler sejati. Yah, kita gak tau sih apa isi dari tas cariel yang dia bawa, tapi dari dia berjalan menapaki jalan menanjak di gunung, meski tanpa beban, itu cukup berat dan gue melihat, Nadine sangat natural di film ini.

       Iskhandar : Awal menonton Sagarmatha, memang sepertinya sulit buat gue untuk menerima style dan treatment yang diusung di dalam film ini, karena benar-benar diluar ekspektasi gue. Namun itulah yang membuat Sagarmatha unik di mata gue, sebuah karya yang dihasilkan dengan gaya yang sangat 'indie' dan tetap bisa mendapat tempat di bioskop. Memang terkadang di beberapa adegan agak membingungkan, namun semuanya pelan-pelan terungkap, dan overall gue cukup enjoy menonton Sagarmatha. Watch it if you want a story that was told in a quite unique style. 

       Indah : Plus minus nya dari film ini adalah, terlihat dengan kamera yang seadanya, mereka bisa menghasilkan karya film yang menarik dan bisa tembus ke bioskop. Terlihat dari gambar-gambar yang menurut gue banyak yang jumping dan cut nya kasar banget. Ceritanya juga menarik. Kalo mau tau uniknya penyampaian ceritanya gimana, ya tonton aja ke bioskop, hehe. Dari 1-10, kami memutuskan memberi Sagarmatha score 7.

No comments:

Post a Comment